Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kearifan Lokal Masyarakat Ujungkulon


Saat pertama kali saya menginjakkan kaki di bumi Ujungkulon pada awal 1990 an, ada beberapa hal baru yang terasa unik dan sangat berkesan bagi saya.
Mulai dari logat bahasa Sunda penduduk asli Ujungkulon yang sepintas terdengar mirip dengan dialek orang Baduy, bentuk bangunan lumbung padi (leuit) yang juga sangat serupa dengan “leuit” orang Baduy, sampai pada soal pamali atau tabu / larangan dan wantah atau peraturan lisan yang berkaitan dengan mitos manusia harimau (orang yang memliki ilmu kanuragan harimau), siluman harimau ("wangatua") dan legenda Prabu Siliwangi atau Prabu Tajimalela, legenda Ki Buyut Mansyur, legenda Bapa Kolot Pelen yang semuanya sangat kental dengan pengaruh animisme, Hinduisme dan juga pengaruh Islam.
Soal dialek dan bentuk lumbung padi memang wajar bila agak mirip karena letak geografis kedua tempat itu yang sama-sama berada di wilayah Banten. Namun yang lebih menarik bagi saya adalah masalah tabu, mitos dan legenda yang masih diyakini oleh sebagian penduduk di sekitar kawasan Taman Nasional Ujungkulon.

Pamali dan Wantah

Beberapa pamali dan wantah yang masih dipatuhi sampai sekarang terutama oleh generasi tua penduduk asli Ujungkulon diantaranya:
  • Tidak boleh makan, minum dan kencing sambil berdiri baik di dalam ataupun di luar rumah/bangunan apapun,
  • Tidak boleh bicara sembarangan seperti mengumpat orang atau bahkan binatang sekalipun, bersumpah serapah, bicara dengan nada tinggi (berteriak) atau bicara dengan sikap angkuh, takabur, berkata perkataan porno dan sebagainya
  • Tidak boleh duduk di atas tanah tanpa alas
  • Tidak boleh memotong ranting pohon tanpa menggunakan pisau atau golok
  • Tidak boleh memakan ikan yang masih terikat pada panggangannya
  • Tidak boleh meletakkan sinduk nasi dalam wadahnya (kastrol/periuk),
  • Diwajibkan menyebut “Buhaya” atau buaya alias crododilus porosus dengan sebutan "Panganten"(pengantin) dan menyebut “Maung” atau harimau alias panthera tigris javanicus dan “Kerud” atau macan tutul /macan kumbang alias panthera pardus dengan sebutan hormat “abah kolot" atau "bapa kolot” yang artinya “kakek”. Sementara Badak Jawa (rhinoceros sondaicus) sebagai primadona Ujungkulon memiliki panggilan hormat yaitu "Abah Gede" atau "Bapak Yang Agung"
  • Bagi yang sedang dalam perjalanan dari Karangranjang menuju Cibandawoh, diwajibkan untuk berhenti untuk melakukan "surubuhun" atau ritual membakar kemenyan atau sebatang rokok di bawah sebatang pohon Cerelang tua yang sudah berlobang dan nampak angker di Pangukusan.
  • Peribahasa "Mipit amit, ngala menta" menjadi semacam tata tertib yang maksudnya wajib amit (meminta ijin) pada “karuhun” atau roh halus nenek moyang penghuni hutan, bila kita hendak memungut (mipit) atau mengambil (ngala) sesuatu (buah, umbi, daun, tanaman, madu, ikan, hewan atau apapun yang dapat dimakan atau dimanfaatkan) dari dalam hutan di Ujungkulon.
Uniknya semua larangan dan aturan tersebut berlaku bagi orang pribumi (Indonesia) selama berada atau bepergian di Ujungkulon, baik di dalam ataupun di luar kawasan semenanjung Ujungkulon dan pulau-pulau di sekitarnya.
Biasanya aturan dan larangan tersebut hanya dipatuhi selama berada dalam hutan saja, tapi sebagian orang-orang tua di sana tetap mematuhi aturan dan larangan itu sekalipun mereka tidak sedang berada di dalam hutan namun para kuncen atau dukun umumnya masih memegang teguh kepercayaan warisan nenek moyang mereka itu walaupun mereka menganut agama Islam.
Mereka tidak berani melanggar norma-norma tersebut karena takut kabadi yang artinya mengalami gangguan atau terkena penyakit sebagai teguran dari roh baik yang disebut “wangatua” maupun kabadi oleh roh jahat yang mereka sebut “aden-aden” atau “jurig leuweung” alias hantu hutan Ujungkulon yang masih sangat werit atau angker.

Oleh sebab itu jangan heran bila pemandu local atau porter yang akan mengantar anda memberitahu pantangan dan aturan-aturan tersebut sebelum berangkat menuju kawasan hutan di Taman Nasional Ujungkulon. (Bersambung)




Posting Komentar untuk "Kearifan Lokal Masyarakat Ujungkulon"